welcome to SMP 3 Sragi

Selamat datang di blog SMP 3 Sragi

Blog ini kami tujukan bagi anda yang ingin mengakses informasi yang berkaitan dengan SMP 3 Sragi, meliputi informasi akademis, non akademis maupun informasi lainnya

Gunakan kesempatan ini untuk dapat berpartisipasi dalam membangun SMP 3 Sragi menuju ke sekolah yang lebih maju dan lebih berprestasi

Selamat bergabung bersama kami

Kamis, 29 Desember 2011

Sang Dewi
Margiati, S.Pd

Gema takbir, tahlil dan tahmid mulai berkumandang, bersahut-sahutan dari berbagai menara masjid yang kulewati. Sungguh membuatku bergetar menahan keharuan yang mengharu biru. Aku dan rombongan menepi, istirahat dan berbuka di daerah Sukamandi. Lirih kuucap puji syukur Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau izinkan aku menuntaskan kewajiban suci ini sebulan penuh.
“Minumnya, Wan” Yudi menyodorkan segelas minuman mineral padaku.
“Trims”, kutenggak tanpa sisa air putih di tanganku setelah sebelumnya kulantunkan doa berbuka.
“Nih, bikang kesukaanmu. Sikat semua boleh, Wan!” Tio melemparkan bungkusan putih dari dalam mobil. Entang mengapa aku kurang bergairah berbuka malam ini. Mungkin karena pikiranku sudah melayang jauh ke kampung halaman.
“Lagi nggak nafsu, nih.” Kuambil separo bikang itu, selebihnya kukembalikan pada Tio dan Agus yang sedang asyik berbuka di dalam mobil. “Aku keburu pingin sampai rumah, Men. Kangen gudeg dan tahu bacemnya Emak!”
Kudengar tiga kawanku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku.
“Wan, wan … dan tujuh tahun di Bogor, Cuma tahu bacem aja yang ada di otak kamu!’Yudi meledekku.
“Irwan tuh bukan cuman kangen Ibunya, dia tuh keburu gak sabar pingin jumpa bininya, ya nggak?” Agus menyela. Ketiganya tertawa bareng.Aku Cuma tersenyum.
“Maklum dan hampir dua bulan gak ketemu. Eh, gimana ya jagoan kecilmu?” Yudi merangkul pundakku.
“              Aku tadi pagi sempat telepon Dewi. Mereka baik-baik saja”, jawabku seraya mengibaskan celana jeansku yang kotor oleh remah-remah rotiku. “Puas-puasin bukanya ya… Aku mau sholat maghrib dulu”, aku berjalan menuju mushola kecil di dekat rumah makan di depan kami.
Semburat merah jingga semakin samar dan akhirnya menghilang di ufuk barat, digantikan warna abu-abu kehitam-hitaman menandakan siang telah berlalu dan kini malam menjelang. Gema takbir pertanda bulan Syawal telah tiba terus bergema, begitu syahdu dan Agung terdengar di telingaku. Mudik lembaran. Rutinitas tahunan yang senantiasa kutunggu dan bahkan ditunggu-tunggu oleh ribuan atau puluhan ribu umat muslim perantauan seperti aku ini. Mudik lembaran tahun ini terasa lain bagiku. Bila enam kali mudik sebelumnya aku adalah seorang perjaka yang bebas dan tak terikat oleh waktu, maka mudik kali ini mungkin paling mendebarkan bagiku. Seorang jagoan kecil berumur empat puluh hari telah menunggu-nunggu aku, ayahnya. Seorang jagoan buah hatiku dengan Dewi, istriku tercinta yang kunikahi sepuluh bulan yang lalu. Dewi adalah seorang wanita keibuan yang berhati “Dewi”. Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi lumayan manis menurutku.
Seorang wanita yang rela menungguiku hingga larut malam karena tuntutan pekerjaanku sebagai seorang karyawan lapangan si sebuah perusahaan mobil. Wajahnya mungil, berkaca mata minus dan selalu berjilbab ke manapun dia pergi. Pribadinya sederhana dan nrimo. Sifat terakhirnya itulah yang menuntunku untuk menjatuhkan pilihanku padanya hingga kusingkirkan jauh-jauh nama Indah, Evi, dan sederet gadis cantik lainnya yang pernah singgah di hatiku. Aku tersenyum sendiri. Mungkin ingat petualanganku.  Rasa malu pada Tuhan membuatku semakin berusaha mendekat pada-Nya. Apalagi kehadiran Dewi dalam hidupku juga telah banyak mengubah hidupku.
Entah mengapa perjalanan mudikku kali ini terasa amat lama. Hati dan pikiranku sudah sampai di Bantul, tempat istri dan jagoan kecilku menunggu. Starlet yang kutumpangi berjalan merayap di antara ratusan mobil dan bus yang berderet panjang membentuk konvoi. Laju kendaraan tersendat-sendat, walaupun puncak arus mudik sebenarnya telah terjadi kemarin. Yudi yang berada di belakang kemudi menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala. Tubuhnya dihempaskan ke sandaran jok tempat dia duduk.
“Macet lagi nih, Wan. Bisa-bisa kita sampai Yogya jam satu siang, nih!”
“Sabar aja, Yud.  Habis mau gimana lagi!” seloroh Agus dari belakang.
“Yang penting ketemu gudeg dan tahu bacem lagi!” Seloroh Agus dari belakang. Kami semua tertawa. Kami berempat adalah teman sekantor. Diantara mereka, Yudilah yang paling akrab denganku. Dia sahabat kecilku di Magelang. Usia kami sama , dua puluh enam tahun. Bedanya, dia sudah menikah empat t  ahun yang lalu tetapi belum dikarunia momongan. Sedangkan aku alhamdulillah Allah segera mengaruniakan jagoan kecil padaku. Sebulan setelah kumenikah, Dewi hamil.
“Matikan AC-nya, Yud.Aku pingin menghirup udara malam, kangen aroma sawah, nih.”
“Okey, boss.Ingat ngobor kodok kita ya, Wan?”
“He he e… kamu tahu saja!” aku tertawa seraya memukulkan tinju ke lengan Yudi. Masa kecilku memang indah dan penuh kenangan manis. Aku san Yudi sering sekali tertawa terkekeh bila mengenangnya.
Kupencet tombol kaca jendela hingga terbuka separo lebih. Semilir angin malam segera menghempas wajahku. Dingin.Hem … aroma padi, deretan pohon akasia yang memagari jalan tampak kokoh bagai pagar raksasa. Mobil berjalan kembali. Kaca kubiarkan terbuka. Kulayangkan pandangan mataku ke hamparan sawah nan luas. Padi siap panen terhampar luas bagai permadani Pakistan ditimpali sinar lampu neon di sepanjang jalan. Di kejauhan tampak berkedip-kedip lampu-lampu neon perkampungan. Aroma padi membuatku semakin ingin segera sampai rumah.Rinduku pada Ibu, Bapak dan saudara-saudaraku rasanya tak tertahankan. Mungkin saat ini rumah orang tuaku di Magelang  sudah riuh rendah oleh celoteh keponakan-keponakanku, anak-anak dari kakak-kakakku yang sudah duluan sampai dirumah. Kalau saja tidak macet, mungkin aku sudah sampai Temanggung jam segini. Aku menggerutu dalam hati.Jam di pergelanganku sudah menunjuk angka dua lebih dua puluh menit.Pagi hampir menjelang. Sementara laju mobilku masih tetap dengan irama semula, merayap. Kami masih di Cirebon. Kulihat Agus dan Tio pulas di jok belakang. Sedangkan aku, sedikitpun tak bisa memicingkan mata. Entah mengapa aku tiba-tiba jadi gelisah. Sebentar-sebentar kulirik jam di pergelanganku. Mataku kembali kulayangkan ke luar. Rupa-rupanya kami sampai di pasar Cirebon. Deretan toko semua tertutup rapat. Tak ada aktivitas, kecuali beberapa tukang ojek yang bergerombol di beberapa sudut jalan, mengais rejeki dari pemudik yang akan menumpang motor ojeknya. Sedang apakah Dewi saat ini? Mungkinkah dia sudah bangun jam segini? Apakah dia lagi menyiapkan opor dan ketupat lembaran? Atau mungkin malah lagi berjuang mendiamkan tangis si kecil yang tiba-tiba bangun malam begini. Kuraih telepon genggamku di saku bajuku. Kupencet nomor nomor Dewi, tapi …uh! Mail box. Jam lima pagi kemarin sehabis sholat subuh aku sempat menelepon Dewi dari Bogor untuk mengabarkan kepulanganku.
“Mas Irwan jadi berangkat nanti sore?” suara Dewi terdengar manja. Kubayangkan dia sangat bahagia sewaktu menanyakan kepulanganku.
“Insya Allah, Wik. Aku nebeng mobil Tio. Kami berempat, Yudi yang akan pegang kemudi, gantian sama Agus apa aku nanti. Ntar berangkat jam empat sore. Tapi aku ke Magelang dulu, sungkem Ibu dan Bapak dulu. Rencananya, sorenya aku langsung ke Bantul.”
“Sebaiknya begitu, Mas. Yang penting Mas Irwan sungkem Ibu Bapak dulu di Magelang. Dewi menunggu di Bantul. Anu, Mas … “ Dewi menghentikan ucapannya.
“Ada apa, Wik? Mau pesan sesuatu?”
“Kalau Mas nggak keberatan tolong kereta bayi yang sudah kita beli sekalian dibawa ya. Aku agak capek gendhong Ardan akhir-akhir ini. Maksudku biar bisa gantian, Mas.” Suara Dewi terdengar lirih sehingga memaksaku menempelkan ponsel lekat-lekat di telingaku.
“Baiklah, Wik. Pesan apa lagi?” aku menggoda Dewi.
Senyap. Dewi tak segera menjawab pertanyaanku. Beberapa detik kemudian aku baru mendengar kembali suaranya yang lembut.
“Mas, ada sesuatu yang sudah kupersiapkan di almari kita, Bungkusan coklat, di rak paling atas. Itu adalah beberapa kerudung Dewi yang masih baru, juga beberapa potong baju muslim yang masih baru punya Dewi. Sempatkan untuk mengantar bungkusan itu ke Yayasan Yatim Piatu Permata hati ya,Mas. Pakaian dan kerudung-kerudung itu lebih mereka butuhkan. Mas bersedia?”suara dari seberang terdengar memohon. Aku tidak segera menjawab. Ada keharuan sekaligus kebanggaan menyelinap di dadaku. Istriku yang sholihah, dan dermawan.
“Gimana, Mas?’ suara pertanyaan Dewi mengagetkanku.
“Tentu saja,  Wik.Nanti mas sempatkan untuk kesana.” Suaraku bergetar menahan haru.”Bagaimana perkembangan Ardan,Wik? Apa makin mirip aku?” tanyaku kembali.
“Iya. Bahkan seperti foto kopi Mas Irwan. Berat badannya sudah bertambah dua ons lagi. Kami snagat merindukan Mas Irwan”,kembali nada suara Dewi terdengar lirih.
“Aku juga tak sabar ingin segera bertemu kalian, tunggu aku ya…” sekali lagi suasana hening.Dewi tidak segera menjawabnya. “Hello, .. Dewi? Aku memastikan bahwa Dewi masih mendengarkan aku.
“Eh, iya,mas. Tentu saja. Kami menunggu Mas Irwan. Berhati-hatilah di perjalanan. Tidak usah terburu-buru. Semoga Allah memberi kekuatan pada Mas.”
“Baiklah,Wik. Sudah dulu ya. Ciumkan Ardhan untukku. Assalamualaikum ,” aku menutup percakapanku pagi dengan Dewi pagi itu.  Kata-kata Dewi kemarin pagi masih terngiang jelas di telingaku. Sampai jam empat sore tadi aku masih sempat berkirim sms padanya. Kupandangi gambar Dewi di layar telepon genggamku. Berkerudung putih, berbaju hitam bergaris putih vertikal. Tampak cantik dan anggun. Wanita yang kuat dan tabah. Betapa tidak, cobaan emi cobaan melanda kehidupan kami. Satu setengah tahun yang lalu, sewaktu orang tuaku melamar Dewi untukku, rumah orang tuanya di Bantul masih utuh. Dua tahun kemudian ketika kami datang kembali untuk memusyawarahkan hari pernikahan, rumah joglo itu telah berubah menjadi puing-puing yang nyaris rata dengan tanah, tersipu gempa tektonik yang melanda wilayah Yogya dan sekitarnya beberapa bulan sebelumnya. Sungguh memilukan. Akhirnya tepat pada tanggal dua puluh enam Desember, sepuluh bulan yang lalu resmi kunikahi Dewi.  Seminggu setelah menikah, Dewi kuboyong ke Bogor. Kami menempati sebuah rumah kontrakan di daerah Warung Jambu, dekat dengan perusahaan tempatku bekerja.  Terpaksa aku menyuruhnya berhenti bekerja di sebuah kantor swasta di Jakarta, karena jarak yang cukup jauh. Aku bahagia dan menikmati kehidupan baruku. Aku juga merasakan alangkah besar dan tulisnya cinta Dewi padaku. Pendek kata, Dewi telah mampu menorehkan warna yang indah dalam hidupku. Dewi hamil. Akan tetapi, semenjak usia kandungannya menginjak tujuh bulan dia harus keluar masuk rumah sakit untuk opname sebanyak lima kali. Tabunganku banyak terkuras untuk biaya rumah sakit. Aku sangat mencemaskan nasib anak dan istriku. Tetapi semua kupasrahkan pada Allah. Siang malam tak berhenti aku berdoa untuk keselamatan mereka. Alhamdulillah Tuhan mengabulkan doaku hingga akhirnya Dewi melahirkan jagoan kecilku di Bantul, di rumah kedua orng tuanya.
Dering telepon genggam di tanganku mengagetkan lamunanku. Kubuka sebuah pesan singkat, yang ternyata dari mbak Widi, kakak perempuanku.
KAMU DAH NYAMPAI MANA, WAN? SEBAIKNYA KAMU GAK USAH MAMPIR MAGELANGLANGSUNG AJA KE BANTUL. ISTRIMU AGAK TIDAK ENAK BADAN.
Begegas kupencet tombol hijau untuk menghubungi mabk Widi. Tapi yang terdengar bunyi tulalit dn suara operator yang minta meninggalkan pesan. Dengan gugup kupencet tombol ponsel untuk menghubungi Dewi, tapi sialan! Masih juga Mail box. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Berbagai pertanyaan mengusikku. Parahkan sakit Dewi. Apa dia harus opname lagi? Ya tuhan, di hari lembaran begini, apa ada dokter buka?.
Semoga dia hanya masuk angin biasa. Aku mencoba menenangkan diri. Kulihat kembali jam tanganku.  Pukul empat pagi. Hampir subuh.
“SMS dari siapa, Wan?” Yudi mengankap kegelisahanku.
“Mbak Widi. Katanya Dewi agak tidak enak badan, jadi aku langsung ke Bantul  saja”.
“Tak masalah. Kami antar kamu sampai rumah istrimu, Wan.” Terdengar serak suara Tio dari jok belakang. Rupanya dia mendengar percakapan kami.
“Sudah kau hubungi ponselistrimu,Wan?” Yudi kembali bertanya.
“Belum sejak malam tadi HPnya dimatikan.
Mudikku kali ini benar-benar meleset dari rencana semula. Itu semua gara-gara jalanan macet. Sholat Idul Fitri kami laksanakan di lapangan Temanggung. Ada kemasygulan yang menyesak di dada sewaktu kulantunkan takbir, tahlil, dan tahmid di pagi yang fitri itu. Bayangan wajah Bapak.Ibu, Dewi dan Ardan jagoan kecilku silih berganti membayang di pelupuk mataku. Dua butir cairan bening menetes di pipiku sewaktu kulantunkan doa untuk keselamatan mereka.
Usai sholat Ied kami bergegas menuju ke mobil kembali. Ribuan muslim yang memenuhi lapangan tadi bergerak meninggalkan lapangan menuju rumahnya masing-masing. Kulihat Yudi sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak terlalu mendengar percakapannya karena aku segera masuk dan duduk di jok depan. Kulihat wajah Yudi yang memucat. Kupikir dia kelelahan pagi ini. Tiba-tiba Yudi memandangku lekat-lekat. Kulihat ada air mata di pelupuk matanya. Aku semakin tak mengerti ketika tiba-tiba Yudi mengucapkan istighfar dan memelukku erat-erat, sangat erat.
“Kamu harus kuat dan sabar ya, Wan” tersendat suara Yudi di pundakku. Pelukannya semakin erat di tubuhku. Tio dan Agus pun hanya bisa diam sambil memegang erat tanganku. Hatiku semakin tak menentu karena Yudi tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meliuk-liuk di jalanan Magelang menuju Yogya nyaris tanpa kata-kata. Aku semakin yakin telah terjadi sesuatu yang cukup serius pada keluargaku.
Ada desiran-desiran aneh sewaktu kami memasuki kota Bantul. Yudi memperlambat laju mobilnya ketika kami sudah masuk perkampungan tempat istriku tinggal.  Sesampai di mulut gang aku terpana sewaktumelihat sebuah bendera kecil warna putih terpasang. Kegundahan hatiku tak terbendung lagi. Puluhan atau malah mungkin ratusan orang duduk-duduk di kursi-kursi plastik yang terpasang rapi di teras dan halaman rumah mertuaku, di bawah naungan tenda plastik warna coklat.
Persendian tubuhku lemas seketika. Aku sudah tahu apa yang terjadi walaupun aku tidak mempercayainya. Yudi bergegas membukakan pintu mobil untukku. Semua orang berdiri sewaktu aku keluar dari mobil. Serta merta mas Galih, kakak iparku dan mas Ilham kakak kandungku menyambut dan memelukku dengan erat. Tangis kami meledak.
“Dewi telah pergi jam satu malam tadi. Ikhlaskan dia, dik Irwan”, lirih suara mas Galih di sela isak tangis kami. Lemaslah seluruh persendian tubuhku. Kedua kaki kokohku seolah tak mampu lagi menyangga tubuhku. Pandangan mataku mengabur. Antara sadar dan tidak mulutku berulang-ulang mengucap istighfar. Namun tiba-tiba semua di depanku menjadi gumpalan-gumpalan abu-abu yang terus menghitam dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hitam, pekat.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar