Mencintai dan Meneladani Nabi
Jakarta - Di setiap Maulid Nabi Muhammad SAW, syair-syair lagu spritual Bimbo: "Rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu ya Rasul, serasa Dikau di sini. Cinta Ikhlas Mu pada manusia, bagai cahaya suarga. Dapatkah kami membalas cintamu, secara bersahaja", mewakili segenap perasaan kita umat Islam.
Kerinduan dan kecintaan pada Nabi Muhammad SAW sering pula diekspresikan dengan perasaan cinta yang kadang emosional, tak rela melihat Nabi dan ajarannya mendapat hinaan, penodaan dan penistaan dengan memerangi orang dan kelompok yang menistakan nabi dan ajaran Islam melalui jihad secara fisik.
Islam lebih sering ditampilkan sebagai agama yang kejam, suka kepada kekerasan dan peperangan. Islam menjadi agama yang menakutkan, padahal sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menekankan Islam sebagai agama kedamaian membawa keselamatan dan rahmat bagi seluruh alam.
Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari asal kata "Salam" yang artinya "Damai Sejahtera". Kalimat Islam itu sendiri jika diterjemahkan berarti "Selamat (Damai)". Adapun kalimat "Salam" dalam bahasa Ibrani yaitu 'Shalowm' yang artinya "damai Sejahtera". Para ulama ahli tafsir yang merujuk pada Al-Qur'an, selamat dari kemungkaran (kejahatan) dan selamat dari api neraka (murka Allah).
Sebagai agama yang membawa kedamaian, kesejahteraan dan rahmat bagi seluruh alam, Islam yang disebarkan nabi menjadi tonggak sejarah terpenting bagi kehidupan manusia dalam membangun peradaban yang modern dan madani (civil society). Begitu juga dengan penyebaran Islam di nusantara. Para wali dan ulama menyebarkan Islam ke seluruh nusantara dengan jalan damai, "suro diro joyodiningrat, lebur dening pangastuti" (semua angkara murka atau tindak kejahatan akan kalah dengan keluhuran budi), dan dalam terminologi Islam disebut "Idza jaal haqqu wajahaqal bathil, innal bathila kana zahaqu."
Cinta Kepada Nabi
Cinta memang memiliki ekspresi yang berbeda-beda bagi setiap manusia, begitu juga cinta kepada Nabi Muhammad SAW, manusia biasa yang dimuliakan Allah, pemimpin teladan umat yang diutus menjadi Rasul Allah untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi terakhir (khataman nabiyyin), tiada nabi setelahnya, kekasih Allah yang digelari sebagai manusia yang dipercaya Al-Amin.
Dengan segenap kerinduaan dan kecintaan yang begitu mendalam kepada nabi, kita ingin memberi catatan-catatan penting bagaimana kita mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi itu dengan pandangan dan perspektif yang lebih mendalam dalam kehidupan kita dengan meneladani keperibadian Nabi Muhammad SAW.
Dalam suatu riwayat dikisahkan bagaimana kecintaan para sahabat kepada Nabi. Menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad SAW yang tengah menderita sakit, setelah memimpin sholat Subuh, Nabi berdiri di atas mimbar dan bertanya kepada para sahabat. "Wahai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang. Siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik."
Melihat semua sahabat diam, Nabi mengulangi lagi ucapannya dengan suara yang terdengar lebih keras. Masih saja para sahabat duduk tenang. Hingga ucapannya yang ketiga kalinya, seorang laki-laki berdiri menuju nabi, dialah Ukasyah Ibnu Muhsin. "Ya Rasul Allah, dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, wahai kekasih Allah, saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung sampingku," ucap Ukasyah.
Mendengar ini, nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putrinya, Fatimah. Bilal tampak begitu berat menunaikan perintah nabi, Ia tak ingin cambuk yang dibawanya melecut tubuh sang kekasih, namun Ia juga tidak ingin mengecewakan nabi. Segera setelah sampai, cambuk diberikan kepada nabi dan dengan cepat cambuk berpindah ke tangan Ukasyah. Masjid seketika dipenuhi oleh gemuruh suara para sahabat.
Tiba-tiba dari barisan terdepan melesat maju sosok berwajah sendu dan berjanggut basah oleh air mata, dialah Abu Bakar dan sosok pemberani yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Umar Ibnu Khattab. Mereka berkata, "Hai Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau inginkan, kisaslah kami". Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian, begitu perintah nabi.
Melihat Abu Bakar dan Umar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib pun berdiri di depan Ukasyah dengan berani. "Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas Rasul. Inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku, Allah SWT sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu wahai Ali, duduklah kembali," kata nabi.
"Hai Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya mengkisas Rasul juga." Hasan dan Husin tampil di depan Ukasyah. Lalu Nabi menegur mereka, "Wahai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku, duduklah."
Masjid kembali ditelan senyap, Ukasyah tetap tegap menghadap nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi Ukasyah mengambil kisas. "Wahai Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah ragaku," Nabi selangkah mendekatinya.
"Ya Rasul Allah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang menghalangi lecutan cambuk itu." Kemudian Nabi pun melepaskan ghamisnya dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis sedih.
Melihat tubuh nabi, Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya nabi, sepuas keinginannya ia ciummi punggung nabi. Perasaan kerinduan kepada nabi ia tumpahkan pada saat itu. Ukasyah menangis gembira, berteriak haru, gemetar bibirnya berucap, "Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka."
Dengan penuh senyum nabi berkata, "Ketahuilah wahai manusia, siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini." Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah dan para sahabat yang lain berebut mencium Ukasyah. Pekikan takbir kembali menggema. "Wahai Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul Allah di surga," kata para sahabat.
Meneladani Nabi
Bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, kecintaan kepada nabi tentu dengan menjadikan nabi sebagai teladan dalam kehidupan kita. Keteladanan nabi Muhammad SAW bukan lantaran kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik kenegaraan yang begitu besar yang dimiliki Nabi. Ia menjadi teladan bagi umat manusia lantaran keluhuran budi dan akhlak yang dimiliki, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21).
Meneladani Nabi berarti meneladani bagaimana nabi membangun rumah tangga yang memperoleh ridho Allah SWT. Nabi bersama istrinya Siti Khadijah selalu berusaha agar dapat mewujudkan dan membina rasa saling cinta mencintai, sayang menyayangi, hormat menghormati, selalu menjaga nama baik dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Nabi memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggungjawab dan kasih sayang sehingga anak-anaknya senantiasa beriman dan bertakwa, sehingga hidupnya berguna dan berbahagia.
Nabi Muhammad SAW selalu menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada orang-orang yang dipimpinnya, selalu berusaha agar persaudaraan sesama umat Islam (ukhwah Islamiyah) terwujud, sering bermusyawarah dengan para sahabat, berusaha mengikis pengaruh kebendaan dari dalam diri kaum muslimin. Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang konsekuen, teguh pendirian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Nabi Muhammad SAW juga selalu berusaha memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebersihan dan keindahan tubuhnya secara Islami. Selalu membiasakan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari akhlak tercela, serta giat beramal shaleh yang bermanfaat bagi umat. Sehingga Allah memuji Nabi: "Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4).
Nabi Muhammad SAW adalah pribadi yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi terhadap anak-anak yatim, para fakir miskin dan orang-orang yang terlantar. Kasih sayang nabi bukan saja kepada sesama manusia, bahkan terhadap binatang dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Meneladani Nabi Muhammad SAW berarti meneladani keperibadian-Nya sebagai pemimpin yang dipercaya (amanah) bukan saja dari umat melainkan dari Allah. Kepemimpinan yang dipercaya (amanah) itu dicapai karena nabi senantiasa mengembangkan kepribadian yang mengedepankan sikap moral yang baik dan kejujuran (siddiq), meningkatkan keterampilan dan menyampaikan apa adanya (tabligh) dan mengembangkan kapasitas serta kecerdasan (fathanah).
Mencintai dan meneladani Nabi bukan karena kita ingin menjadi nabi. Sebagai manusia yang tak sempurna, tidak selalu benar, serba terbatas, tak pernah luput dari segala kesalahan dan berbuat aniaya kepada sesama manusia, kita mencintai dan meneladani Nabi karena ingin mendapat jaminan dan safaat dari Nabi di hari kemudian. Wallahu a'lam bishawab.
*) Wahyu Triono KS adalah Direktur CINTA Indonesia, Professional Campaign and Politic Consultant Pada DInov ProGRESS Indonesia dan Wakil Sekretaris Jenderal PKMN KAHMI.
(vit/vit)
welcome to SMP 3 Sragi
Selamat datang di blog SMP 3 Sragi
Blog ini kami tujukan bagi anda yang ingin mengakses informasi yang berkaitan dengan SMP 3 Sragi, meliputi informasi akademis, non akademis maupun informasi lainnya
Gunakan kesempatan ini untuk dapat berpartisipasi dalam membangun SMP 3 Sragi menuju ke sekolah yang lebih maju dan lebih berprestasi
Selamat bergabung bersama kami
Tidak ada komentar :
Posting Komentar